Minggu, 03 Juli 2011

Makalah Pendidikan Kewarganegaraa

BAB I
PERMASALAHAN
Permasalahan yang akan di bahas pada makalah ini antara lain sebagai berikut :
1.   Bagaimana nilai- nilai yang terkandung dalam pancasila dan mewujudkannya sebagai norma negara?
2.   Bagaimana pengamalan pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara?

 
BAB II
PEMBAHASAN
Pancasila terdiri atas 5 ( lima ) sila, tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 Alenia IV dan diperuntukkan sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Meskipun dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut tidak secara eksplisit disebutkan kata Pancasila, namun sudah dikenal luas bahwa 5 ( lima ) sila yang dimaksud adalah Pancasila untuk dimaksudkan sebagai dasar negara.
Dewasa ini, terutama di era reformasi, membicarakan Pancasila dianggap sebagai keinginan untuk kembali ke kejayaan masa Orde Baru. Bahkan, sebagian orang memandang sinis terhadap Pancasila sebagai sesuatu yang salah. Kecenderungan demikian wajar oleh karena Orde Baru menjadikan Pancasila kekuasaannya secara masif. Akibatnya, Pancasila –an sich- ikut terdeskreditkan bersamaan dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru. Pancasila ikut disalahkan dan pantas menanggung beban akibat kesalahan sebuah kekuasaan politik.
Namun, sebagai sebuah ideologi dan dasar filsafat negara, Pancasila layak untuk dikaji kembali relevansinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesepakatan bangsa telah menetapkan bahwa Pancasila yang terdiri atas lima sila itu merupakan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Kesepakatan itu dinyatakan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI sebagai lembaga pembentuk negara saat itu.

A.            Pancasila dalam Pendekatan Filsafat.
Pancasila dalam pendekatan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mendalam mengenai pancasila. Filsafat Pancasila dapat didefinisikan secara ringkas sebagai refleksi kritis dan rasional tentang pancasila dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia ( Syarbani ; 2003 )

                                              
1.    Nilai – Nilai Yang Terkandung Dalam Pancasila
Rumusan Pancasila sebagaimana terdapat dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke- 4 adalah sebagai berikut :
*   Ketuhanan Yang Maha Esa
*   Kemanusiaan yang adil dan beradab
*   Persatuan Indonesia
*   Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
*   Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
Nilai – nilai yang merupakan perasan dari sila- sila Pancasila tersebut adalah :
*   Nilai Ketuhanan
*   Nilai Kemanusiaan
*   Nilai Persatuan
*   Nilai Kerakyatan
*   Nilai Keadilan
Secara etimologi, nilai berasal dari kata value ( Inggris ) yang berasal dari kata valere ( Latin ) yang berarti kuat, baik, berharga. Dengan demikian, nilai ( value ) adalah sesuatu yang berguna.
Beberapa pengertian tentang nilai dijelaskan sebagai berikut :
Nilai adalah sesuatu yang berharga, baik, dan berguna bagi manusia. Nilai adalah suatu penetapan atau suati kualitas yang menyangkut jenis dan minat. Nilai adalah suatu penghargaan atau suatu kualitas terhadap suatu hal yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku manusia, karena suatu itu :
*   Berguna
*   Keyakinan
*   Memuaskan
*   Menarik
*   Menguntungkan
*   Menyenangkan
Ciri- ciri dari nilai adalah sebagai berikut :
*   Suatu realitas abstrak
*   Bersifat normative
*   Sebagai motivator ( daya dorong ) manusia dalam bertindak.
Nilai bersifat abstrak, seperti sebuah ide, dalam arti tidak dapat ditangkap melalui indra, yang dapat ditangkap oleh objek adalah objek yang memiliki nilai. Meskipun abstrak, nilai merupakan suaru realitas, sesuatu yang ada dan dibutuhkan manusia.
Nilai bersifat normative, suatu keharusan ( das sollen ) yang menuntut diwujudkan dalam tingkah laku.
Menurut Prof. Notonegoro, nilai ada 3 ( tiga ) macam, yaitu sebagai berikut :
a.    Nilai materiil, sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia.
b.    Nilai vital, sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat melaksanakan kegiatan.
c.    Nilai kerohanian yang dibedakan menjadi 4 ( empat macam ) :
*   Nilai kebenaran bersumber pada akal piker manusia ( rasio, budi, cipta ).
*   Nilai estetika ( keindahan ) bersumber pada rasa manusia.
*   Nilai kebaikan atau nilai moral bersumber pada kehendak keras, karsa, hati, nurani manusia.
Walter G. Everet menggolongkan nilai- nilai manusiawi dalam 8 kelompok berikut :
a.    Nilai – nilai ekonomis ( ditunjukkan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli ).
b.    Nilai – nilai kejasmanian ( membantu pada kesehatan, efisiensi, dan keindahan dari kehidupan badan ).
c.    Nilai – nilai hiburan ( nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyeimbangkan pada pengayaan kehidupan ).
d.    Nilai – nilai social ( berasal mula dari keutuhan kepribadian dan social yang diinginkan ).
e.    Nilai- nilai watak ( keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan social yang diinginkan ).
f.      Nilai- nilai estetis ( nilai- nilai keindahan dalam alam dan karya seni ).
g.    Nilai- nilai intelektual ( nilai- nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran ).
h.    Nilai- nilai keagamaan.
Dalam ilmu filsafat, nilai dibedakan menjadi 3 ( tiga ) jenis, yaitu :
a.    Nilai logika yaitu nilai tentang benar- salah,
b.    Nilai etika yaitu nilai tentang baik- buruk, dan
c.    Nilai estetika yaitu nilai tentang indah- jelek.
Max Scheller mengatakan bahwa nilai- nilai itu tidak sama luhurnya dan tidak sama tingginya. Menurut tinggi rendahnya, nilai dapat dikelompokkam dalam tingkatan sebagai berikut :
a.    Nilai- nilai kenikmatan.
b.    Nilai- nilai kehidupan.
c.    Nilai- nilai kejiwaan.
d.    Nilai- nilai kerohanian.
Dalam filsafat Pancasila juga disebutkan bahwa ada 3 ( tiga ) tingkatan nilai yaitu dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis.
1.    Nilai dasar
Nilai yang mendasari nilai instrumental.
2.    Nilai instrumental
Nilai sebagai pelaksanaan umum dari nilai dasar.
3.    Nilai praktis
Nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan.

Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti adanya pengakuan dan keyakinan bangsa terhadap adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Nilai ini menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religious, bukan bangsa yang ateis. Pengakuan terhadap Tuhan diwujudkan diwujudkan dengan perbuatan untuk taat pada perintah Tuhan dan menjauhi larangan- Nya sesuai dengan ajaran atau tuntutan agama yang dianutnya. Nilai ketuhanan juga memiliki arti bagi adanya pengakuan akan kebebasan untuk memeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminatif antarumat beragama.
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti kesadaran sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai- nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya. Manusia perlu diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya, sebagai makhluk Tuhan yang sama derajatnya dan sama hak dan kewajiban asasinya.
Nilai persatuan Indonesia mengandung makna usaha ke arah bersatu dalam kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam negara kesatuan republic Indonesia. Persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia. Adanya perbedaan bukan sebagai sebab perselisihan tetapi justru dapat menciptakan kebersamaan. Kesadaran ini tercipta dengan baik bila sesanti “ Bhinneka Tunggal Ika “ sungguh- sungguh dihayati.
Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga- lembaga perwakilan.
Nilai keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung makna sebagai dasar sekaligus tujuan yaitu tercapainya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur secara lahiriah maupun batiniah. Berdasar pada nilai ini, keadilan adalah nilai yang amat mendasar yang diharapkan oleh seluruh bangsa. Negara Indonesia yang diharapkan adalah negara Indonesia yang berkeadilan.
Diterimanya Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional dari negara Indonesia memiliki konsekuensi logis untuk menerima dan menjadikan nilai- nilai Pancasila sebagai acuan pokok bagi pengaturan penyelenggaraan bernegara.

2.    Mewujudkan Nilai Pancasila sebagai Norma Bernegara
Norma atau kaidah adalah aturan pedoman bagi manusia dalam berperilaku sebagai perwujudan dari nilai. Norma yang kita kenal dalam kehidupan sehari- hari ada 4 ( empat ) yaitu sebagai berikut :
a.    Norma Agama
Norma ini disebut juga dengan norma religi atau kepercayaan. Norma kepercayaan atau keagamaan ditujukan kepada kehidupan beriman. Norma ini ditujukan terhadap kewajiban manusia kepada Tuhan dan dirinya sendiri. Sumber norma ini adalah ajaran- ajaran kepercayaan atau agama yang oleh pengikut- pengikutnya dianggap sebagai perintah Tuhan.
b.   Norma Moral ( Etik )
Norma ini disebut juga dengan norma kesusilaan atau etika atau budi pekerti. Norma moral menentukan kita bagaimana kita menilai seseorang. Norma kesusilaan berhubungan dengan manusia sebagai individu karena menyangkut kehidupan pribadi.
c.    Norma Kesopanan
Norma kesopanan disebut juga norma adat, sopan santun, tata karma atau norma fatsoen. Norma sopan santun didasarkan atas kebiasaan, kepatuhan atau kepantasan yang berlaku dalam masyarakat.
d.   Norma Hukum
Norma hokum berasal dari kekuasaan luar diri manusia yang memaksakan kepada kita. Masyarakat secara resmi ( negara ) diberi kuasa untuk memberi sanksi atau menjatuhkan hukuman.

Di era sekarang ini, tampaknya kebutuhan akan norma etik untuk kehidupan bernegara masih perlu bahkan amat penting untuk ditetapkan. Hal ini terwujud dengan keluarnya ketetapan MPR No. VI/ MPR/ 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Bernegara dan Bermasyarakat. Dinyatakan bahwa etika kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat merupakan penjabaran nilai- nilai Pancasila sebagai pedoman dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku yang merupakan cerminan dari nilai- nilai keagamaan dan kebudayaan yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat.
Etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat ini bertujuan untuk: (1) memberikan landasan etik moral bagi seluruh komponen bangsa dalam menjalankan kehidupan kebangsaan dalam berbagai aspek; (2) menentukan pokok- pokok etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat; (3) menjadi kerangka acuan dalam mengevaluasi pelaksanaan nilai- nilai etika dan moral dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

 Etika kehidupan berbangsa meliputi sebagai berikut :
a.              Etika Sosial dan Budaya
Etika ini bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencintai, dan tolong- menolong di antara sesama manusia dan anak bangsa.
Etika ini dimaksudkan untuk menumbuhkan dan mengembangkan kembali kehidupan berbangsa yang berbudaya tinggi dengan menggugah, menghargai, dan mengembangkan budaya local dan nasional serta menyiapkan budaya yang dimaksud untuk mampu melakukan adaptasi dan tindakan proaksi sejalan dengan tuntutan globalisasi.
b.             Etika Pemerintahan dan Politik
Etika ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar walau datang dari orang per orang ataupun kelompok orang, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Jika timbul masalah potensial yang bisa menimbulkan permusuhan dan pertentangan haruslah diselesaikan secara musyawarah dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan sesuai dengan nilai- nilai luhur agama dan budaya, dengan tetap menjunjung tinggi perbedaan sebagai sesuatu yang manusiawi dan alamiah.
Etika politik mengandung misi kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersifat sportif, berjiwa besar, rendah hati, dan selalu siap untuk mundur dari jabatan public apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hokum dan rasa keadilan masyarakat.
c.              Etika Ekonomi dan Bisnis
Etika ini dimaksudkan agar prinsip dan perilaku ekonomi, baik oleh pribadi institusi maupun pengambil keputusan dalam bidang ekonomi, dapat melahirkan kondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan : persaingan yang jujur, berkeadilan mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan saing, dan terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi rakyat melalui usaha- usaha bersama sevara berkesinambungan.
d.             Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan
Etika ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib social ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang ada. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin tegaknya supremasi hukum sejalan dengan dan menuju kepada pemenuhan rasa keadilan yang hidup dan berkembang di dalam massyarakat.
e.              Etika Keilmuan dan Disiplin Kehidupan
Etika keilmuan diwujudkan dengan menjunjung tinggi nilai- nilai ilmu pengetahuan dan teknologi agar mampu berpikir rasional, kritis, logis dan objektif. Etika ini ditampilkan secara pribadi maupun kolektif dalam perilaku gemar membacaa, belajr, meneliti, menulis, membahas dan kreatif dalam menciptakan karya- karya baru, serta secara bersama- sama menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Etika disiplin kehidupan menegaskan pentingnya budaya kerja keras dengan menghargai dan memanfaatkan waktu, disiplin dalam berpikir dan berbuat, serta menepati janji dan komitmen diri untuk mencapai hasil yang terbaik.

B.            Makna Pancasila sebagai Dasar Negara.
1.             Landasan Yuridis dan Historis Pancasila sebagai Dasar Negara
Kedudukan pokok Pancasila bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebagai dasar negara. Pernyataan demikian berdasarkan ketentuan Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut : “… maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang- Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia” . Kata “ berdasarkan “ tersebut secara jelas menyatakan bahwa Pancasila yang terdiri atas 5 ( lima ) sila merupakan dasar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara ini merupakan kedudukan yuridis formal oleh karena tertuang dalam ketentuan hukum negara, dalam hal ini UUD 1945 pada bagian Pembukaan Alenia IV.

2.             Makna Pancasila sebagai Dasar Negara.
Pancasila sebagai dasar ( filsafat ) negara mengandung makna bahwa nilai- nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi dasar atau pedoman bagi penyelenggaraan negara.
Pancasila sebagai dasar negara berarti nilai- nilai Pancasila menjadi pedoman normative bagi penyelenggaraan bernegara. Konsekuensi dari rumusan demikian berarti seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia termasuk peraturan perundang- undangan merupakan pencerminan dari nilai- nilai Pancasila.

C.            Implementasi Pancasila sebagai Dasar Negara.
Sebagai negara yang berdasar atas hukum, sudah seharusnya segala pelaksanaan dan penyelenggaraan bernegara bersumber dan berdasar pada hukum dan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Jadi, operasional Pancasila sebagai dasar ( filsafat ) negara diwujudkan dengan pembentukan system hukum nasional dalam suatu tertib hukum ( legal order ) di mana Pancasila menjadi norma dasarnya.
Pancasila adalah dasar negara dari negara kesatuan Republik Indonesia. Menurut teori jenjang norma ( stufentheori ) yang dikemukakan oleh Hans Kalsen seorang ahli filsafat hukum, dasar negara berkedudukan sebagai norma dasar ( grundnorm ) dari suatu negara atau disebut norma fundamental negara ( staatsfundamenalnorm ) Grundnorm merupakan norma hukum tertinggi dalam negara. Di bawah grundnorm terdapat norma- norma hukum yang bertingkat- tingkat tadi membentuk susunan hierarkis yang disebut sebagai tertib hukum.
Hans Nawiasky menghubungkan teori jenjang norma hukum dalam kaitannya dengan negara. Menurut Hans Nawiasky, norma hukum dalam suatu negara juga berjenjang dan bertingkat membentuk suatu tertib hukum. Norma yang dibawah berdasar, bersumber dan berlaku pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berdasar, bersumber dan berlaku pada norma yang lebih tinggi lagi demikian seterusnya sampai pada norma tertinggi dalam negara yang disebutnya sebagai Norma Fundamental Negara. Norma dalam negara itu selain berjenjang, bertingkat dan berlapis juga membentuk kelompok norma hukum.
Hans Nawiasky berpendapat bahwa kelompok norma hukum negara terdiri atas 4 ( empat ) kelompok besar, yaitu :
1.    Staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara,
2.    Staatgrundgesetz atau aturan dasar/ pokok negara,
3.    Formellgesetz atau undang- undang,
4.    Verordnung dan Autonome Satzung atau aturan pelaksana dan aturan otonom.
Kelompok norma itu bertingkat dan membentuk piramida. Kelompok norma tersebut hampir selalu ada dalam susunan norma hukum setiap negara walaupun mempunyai istilah- istilah yang berbeda ataupun jumlah norma hukum yang berbeda dalam tiap kelompoknya.
Apabila dikaitkan dengan teori dan Hans Kelsen dan Hans Nawiasky untuk norma hukum di Indonesia maka jelas bahwa Pancasila berkedudukan sebagai Grundnorm menurut Hans Kelsen atau Staatsfundamentalnorm menurut Hans Nawiasky. Di bawah grundnorm atau staatsfundamentalnorm terdapat Staatsgrundgesetz atau aturan dasar negara. Aturan dasar negara disebut juga dengan hukum dasar negara atau konstitusi negara. Dengan demikian, dasar negara menjadi tempat bergantung atau sumber dari konstitusi negara. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia menjadi sumber norma bagi UUD 1945 sebagai konstitusi negara.
Norma fundamental ini berisi norma yang menjadi dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang- undangn dasar suatu negara. Di dalam negara, Staatsfundamentalnorm merupakan landasan dasar filosofi yang mengandung kaidah- kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih lanjut.


Di Indonesia, norma tertinggi ini adalah Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Jadi, Pancasila sebagai dasar negara dapat disebut sebagai :
1.             Norma dasar;
2.             Staatsfundamentalnorm;
3.             Norma pertama;
4.             Pokok kaidah negara yang fundamental;
5.             Cita Hukum ( Rechtsidee ).
Prof. Notonagoro menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan Pokok Kaidah Negara yang Fundamental, sedang Pancasila sebagai unsur Pokok Kaidah Negara yang Fundamental. Aturan dasar di bawah norma fundamental negara adalah aturan dasar atau pokok negara yang isinya bersifat pokok dan merupakan aturan umum dan garis besar seperti pembagian kekuasaan negara, hubungan antar lembaga negara serta hubungan negara dengan warga negara.
Adapun tata urutan perundangan adalah sebagai berikut :
1.             Undang- undang Dasar 1945.
2.             Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
3.             Undang-Undang.
4.             Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ( Perpu ).
5.             Peraturan Pemerintah.
6.             Keputusan Presiden.
7.             Peraturan Daerah.
Dalam ketetapan MPR tersebut dinyatakan bahwa sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam pembukaan Undang- Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang- Undang Dasar 1945. Pancasila sebagai sumber hukum dasar nasional artinya nilai- nilai Pancasila dijadikan sumber normative penyusunan hukum oleh karena Pancasila sendiri merupakan norma dasar.
Undang- undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan juga menyebutkan adanya jenis dan hierarki peraturan perundang- undangan sebagai berikut :
a.              UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
b.             Undang- Undang/ Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang- Undang.
c.              Peraturan Pemerintah.
d.             Peraturan Presiden.
e.              Peraturan Daerah.

D.           Makna Pancasila sebagai Ideologi Nasional.
1.             Pengertian Ideologi
Ideologi berasal dari kata idea yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita- cita, dan logis berarti ilmu. Secara harfiah ideologi berarti ilmu tentang pengertian dasar, ide. Idea disamakan artinya dengan “ cita- cita “. Cita- cita yang dimaksud adalah cita- cita bersifat tetap yang harus dicapai sehingga cita- cita itu sekaligus merupakan dasar, pandangan/ paham.
Hubungan manusia dengan cita- citanya disebut dengan ideologi. Ideologi berisi seperangkat nilai, di mana nilai- nilai itu menjadi cita- citanya atau manusia bekerja dan bertindak untuk mencapai nilai- nilai tersebut.
Berikut diberikan beberapa pengertian ideologi.
a.             Patrick Corbett menyatakan ideologi sebagai setiap struktur kejiwaan yang tersusun oleh seperangkat keyakinan mengenai penyelenggaraan hidup bermasyarakat beserta pengorganisasiannya, seperangkat keyakinan mengenai sifat hakikat manusia dan alam semesta yang ia hidup di dalamnya, suatu pernyataan pendirian bahwa kedua perangkat keyakinan tersebut independen, dan suatu dambaan agar keyakinan- keyakinan tersebut dihayati dan pernyataan pendirian itu diakui sebagai kebenaran oleh segenap orang yang menjadi anggota penuh dari kelompok social yang bersangkutan.
b.             A.S. Hornby menyatakan bahwa ideologi adalah seperangkat gagasan yang membentuk landasan teori ekonomi dan politik atau yang dipegangi oleh seseorang atau sekelompok orang.
c.             Soejono Soemargono menyatakan secara umum “ ideologi “ sebagai kumpulan gagasan, ide, keyakinan, kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut bidang politik, social, kebudayaan dan agama.
d.             Gunawan Setiardja merumuskan ideologi sebagai seperangkat ide asasi tentang manusia dan seluruh realitas yang dijadikan pedoman dan cita- cita hidup.
e.             Frans Magnis Suseno mengatakan bahwa ideologi sebagai suatu pemikiran dapat dibedakan menjadi ideologi tertutup dan terbuka.

a.             Ideologi tertutup, merupakan suatu system pemikiran tertutup. Ideologi ini merupakan ciri sebagai berikut.
*   Merupakan cita- cita suatu kelompok orang untuk mengubah dan memperbaharui masyarakat.
*   Atas nama ideologi dibenarkan pengorbanan- pengorbanan yang dibebankan kepada masyarakat.
*   Isinya bukan hanya nilai- nilai dan cita- cita tertentu, melainkan terdiri dari tuntutan- tuntutan konkret dan operasional yang keras, yang diajukan dengan mutlak.
b.             Ideologi terbuka, merupakan suatu pemikiran yang terbuka. Ideologi terbuka mempunyai ciri- ciri sebagai berikut.
*   Bahwa nilai- nilai dan cita- citanya tidak dapat dipaksakan dari luar melainkan digali dan diambil dari moral, budaya masyarakat sendiri.
*   Dasarnya bukan keyakinan ideologis sekelompok orang melainkan hasil musyawarah dari consensus masyarakat tersebut.
*   Nilai- nilai itu sifatnya dasar, secara garis besar saja sehingga tidak langsung operasional.
Ada dua fungsi utama ideologi dalam masyarakat ( Ramlan Subakti , 1999 ). Pertama, sebagai tujuan atau cita- cita yang hendak dicapai oleh suatu masyarakat. Kedua, sebagai pemersatu masyarakat dan karenanya sebagai prosedur penyelesaian konflik yang terjadi di masyarakat. Dalam kaitannya dengan yang pertama, nilai dalam ideologi itu menjadi cita- cita atau tujuan dari masyarakat. Tujuan hidup bermasyarakat adalah untuk mencapai terwujudnya nilai- nilai dalam ideologi itu. Adapun dalam kaitannya dengan yang kedua, nilai dalam ideologi itu merupakan nilai yang disepakati bersama sehingga dapat mempersatukan masyarakat itu, serta nilai bersama tersebut dijadikan acuan bagi penyelesaian suatu masalah yang mungkin timbul dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan.
Sumber semangat yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah terdapat dalam penjelasan umum UUD 1945. Dalam penjelasan tersebut dikatakan “ Terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan – aturan pokok, sedang aturan – aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang- undang yang lebih mudah caranya membuat, mengubah dan mencabut”.
2.             Landasan dan Makna Pancasila sebagai Ideologi Bangsa
Ketetapan bangsa Indonesia bahwa Pancasila adalah ideologi bagi negara dan bangsa Indonesia adalah sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI No. II/ MPR/ 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ( Eka Prasetya Pancakarsa ) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai dasar negara.
Adapun makna Pancasila sebagai ideologi nasional menurut ketetapan tersebut adalah bahwa nilai- nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila menjadi cita- cita normative penyelenggaraan bernegara.
Pancasila sebagai ideologi nasional yang berfungsi sebagai cita- cita adalah sejalan dengan fungsi utama dari sebuah ideologi sebagaimana dinyatakan di atas. Adapun fungsi lain ideologi Pancasila sebagai sarana pemersatu masyarakat sehingga dapat dijadikan prosedur penyelesaian konflik, dapat kita telusuri dari gagasan para pendiri negara kita tentang pentingnya mencari nilai- niali bersama yang dapat mempersatukan berbagai golongan masyarakat di Indonesia.


E.            Implementasi Pancasila sebagai Ideologi Nasional.
Pancasila sebagai ideologi nasional yang berarti sebagai cita- cita bernegara dan sarana yang mempersatukan masyarakat perlu perwujudan yang konkret dan operasional aplikatif sehingga tidak menjadi slogan belaka. Dalam Ketetapan MPR No. XVIII/ MPR/ 1998 dinyatakan bahwa Pancasila perlu diamalkan dalam bentuk pelaksanaan yang konsisten dalam kehidupan bernegara.
1.             Perwujudan Ideologi Pancasila sebagai Cita- Cita bernegara
Perwujudan Pancasila sebagai ideologi nasional yang berarti menjadi cita- cita penyelenggaraan bernegara terwujud melalui ketetapan MPR No. VII/ MPR/ 2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
Dalam ketetapan tersebut dinyatakan bahwa Visi Indonesia Masa Depan terdiri atas 3 visi, yaitu :
a.             Visi Ideal.
b.             Visi Antara.
c.             Visi Lima Tahunan.
2.             Perwujudan Pancasila sebagai Kesepakatan atau Nilai Integratif Bangsa
Pancasila sebagai nilai integrative, sebagai sarana pemersatu dan prosedur penyelesaian konflik perlu pula dijabarkan dalam praktik kehidupan bernegara.
Nilai dalam etika social memainkan peranan fungsional dalam negara dan berupaya membatasi diri pada tindakan fungsional. Jadi, dengan etika social negara bertindak sebagai penengah di antara kelompok masyarakatnya, negara tidak perlu memaksakan kebenaran suatu nilao, negara tidak mengurusi soal benar tidaknya satu agama dengan agama lain melainkan yang menjadi urusannya adalah bagaimana konflik dalam masyarakatnya, misal, soal criteria kebenaran dapat didamaikan dan integrasi antar kelompok dapat tercipta.

Peranan fungsional dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya diwujudkan dengan negara mengakui adanya keyakinan beragama masyarakatnya/ religiusitas masyarakat sekaligus member jaminan perlindungan atas kebebasan masyarakat dalam menjalankan pengamalan agamanya. Dengan peran fungsional ini negara tidak memerlukan perumusan mengenai keberadaan Tuhan, sifat- sifat Tuhan, bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan, serta perbuatan- perbuatan yang sesuai dengan nilai Ketuhanan.

F.             Pengamalan Pancasila dalam Kehidupan Bernegara.
Pada ketetapan MPR No. XVIII/ MPR/ 1998 dinyatakan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara. Dalam GBHN terakhir 1999 – 2004 disebutkan pula bahwa misi pertama penyelenggaraan bernegara adalah pengamalan Pancasila secara konsisten dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
 

BAB III
KESIMPULAN
Pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara dapat dilakukan dengan objektif dan subjektif. Pengamalan secara objektif adalah dengan melaksanakan dan menaati peraturan perundang- undangan sebagai norma hukum negara yang berlandaskan pada Pancasila, sedangkan Pengamalan secara subjektif adalah dengan menjalankan nilai- nilai Pancasila yang berwujud norma etik secara pribadi atau kelompok dalam bersikap dan bertingkah laku pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengamalan secara objektif membutuhkan dukungan kekuasaan negara untuk menerapkannya. Seorang warga negara atau penyelenggara negara yang berperilaku menyimpang dari peraturan yang berlaku akan mendapatkan sanksi. Pengamalan secara objektif bersifat memaksa serta adanya sanksi hukum, artinya bagi siapa saja yang melanggar norma hukum akan mendapatkan saknsi. Adanya pengamalan objektif ini adalah konsekuensi dari mewujudkan nilai dasar Pancasila sebagai norma hukum negara.
Disamping mengamalkan secara objektif, secara subjektif warga negara dan penyelenggara negara wajib mengamalkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam rangka pengamalan secara subjektif ini, Pancasila menjadi sumber etika dalam bersikap dan bertingkah laku setiap warga negara dan penyelenggara negara. Melanggar norma etik tidak mendapatkan sanksi hukum tetapi sanksi yang berasal dari diri sendiri. Adanya pengamalan secara subjektif ini adalah konsekuensi dari mewujudkan nilai dasar Pancasila sebagai norma etik berbangsa dan bernegara.

DAFTAR PUSTAKA
Winarno. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta : Bumi Aksara

1 komentar: